Dalam siarannya, sebuah televisi swasta nasional mengangkat berita yang unik sekaligus memprihatinkan tentang nasib sebuah klub sepak bola. Klub tersebut diketahui berasal dari Jawa Timur.
Kenapa memprihatinkan? Begini kira-kira ringkasan berita tersebut. Dalam laga tandangnya klub tersebut menghabiskan waktunya di sebuah masjid. Karena persoalan dana yang melilit klub tersebut, pihak manajemen memutuskan untuk menginap di masjid. Ekonomis plus religius. Demikian, mungkin, ekspekstasi para pemimpin klub tersebut.
Memang tidak dapat dibantah jika masjid menjadi tempat yang gratis bagi para pemain dan ofisial. Langkah itu diambil memang karena klub tidak mampu mengeluarkan dana untuk biaya hotel atau penginapan. Ya, demi sebuah kelangsungan klub masjidlah pilihannya menggantikan hotel atau penginapan.
Dari berita tersebut selanjutnya terbersit dalam pikiran saya untuk merekam peristiwa itu dan kemudian diambil pelajarannya. Karena peristiwa yang mengharukan itu pula saya berandai-andai. “Jangan-jangan masih ada lagi klub-klub sepak bola yang memiliki nasib serupa, meskipun kasusnya berbeda”.
Dalam banyak berita di media massa, terkuak penderitaan klub nasional. Misalnya, tunggakan pembayaran gaji pemain, pelatih, pengurus klub yang harus rela mengorbankan dana pribadinya atau meminjam dana dari koleganya. Bahkan ada sebuah klub yang pengurusnya rela menggadaikan sertifikat tanah dan surat-surat berharga lainnya. Ini di antara sedikit derita sebuah klub di Indonesia.
Kondisi yang demikian itu memang merata di berbagai daerah. Hal ini disebabkan oleh karena sepak bola itu sendiri belum mampu menjadi sebuah industri yang menjanjikan.
Dalam kaitan ini, kita dapat menengok ke berbagai negara di Eropa dan Amerika. Di Eropa saja sudah dapat dijadikan cermin betapa sepak bola sangat marketable. Dan sudah menjadi industri yang luar biasa. Bayangkan saja, seorang pemain sekelas Andriy Shevchenko gajinya di atas satu milyar. Dan itu untuk satu pekan saja. Berapa milyar uang yang diterima Sheva dalam satu bulan atau setahun?
Dana besar buat Sheva tadi belum seberapa jika dibanding dengan gaji yang di terima Christiano Ronaldo atau yang sekarang tenar dengan inisial CR7 ini. Gaji mereka sebulan bisa dibuat untuk membayar gaji pemain di Indonesia dalam setahun.
Metafor ini, mungkin, sangat sederhana jka dipakai untuk membandingkan kekuatan sepak bola Indonesia dengan sepak bola di Eropa. Padahal masih banyak lagi sisi lain yang dapat menjadi barometer keduanya. Misalnya, sepak bola Eropa memiliki kekuatan magnet yang mampu menyedot investasi dari dalam maupun luar negeri.
Kembali ke soal keprihatinan persepakbolaan dalam negeri. Ingatan saya jadi terbawa kepada persoalan korupsi di negeri ini yang semakin menggurita. Terkait keduanya, sepak bola dan korupsi, seolah-olah membincangkan dua hal yang berbeda. Tapi, jika dicermati keduanya memiliki sisi yang bisa ditemukan.
Dunia internasional melihat bahwa Indonesia memiliki problem yang ditimbulkan keduanya. Sepak bola Indonesia dipandang sebagai satu cabang yang belum diurus secara rapi dan manajerial yang profesional.
Dunia, dalam hal ini FIFA, sudah tahu borok PSSI. Minimal, siapa ketua umumnya dan sedang berada di mana dia. Ini sudah menjadi rahasia nasional maupun internasional. Ketua umum PSSI adalah seorang penghuni tahanan gara-gara kasus korupsi.
Belum lagi masalah prestasi. Timnas kita belum pernah mencapai prestasi prestisius. Kondisi ini berbeda jauh dengan prestasi (negatif) negeri ini dalam hal korupsi. Bisa dibilang, sepak bola berada di posisi papan bawah. Sedangkan korupsi menempati posisi papan atas level dunia.
Lembaga survey internasional memasukkan Indonesia ke dalam jajaran 37 negara paling korup sedunia. Dan pada 2004 Indonesia menempati urutan kelima dunia dalam daftar negara-negara terkorup. Survey yang dilakukan Transparanci Internasional ini menunjukkan negara ini termasuk negara yang subur praktik korupsinya.
Itu soal peringkat. Bagaimana dengan kerugian negara akibat Tindak Pidana Korupsi (TPK). Mengenai hal ini, Antara, 30/03/07, memberitakan tentang data Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) perihal kerugian negara akibat korupsi.
Besarnya sangat mencengangkan. Negara rugi sekitar 4 triliun lebih. Hitungan itu terhitung sejak 2005. Kerugian itu disebabkan oleh tangan-tangan kotor para pejabat negara. Sedangkan kasusnya bermacam-macam yang berjumlah 32 kasus.
Data BPK, pada 2006 menunjukkan adanya penyelewengan APBN senilai Rp. 68,5 miliar. Sedangkan kasus APBD, negara mengalami kerugian sebanyak 201 miliar.
Sebagaimana diketahui, klub-klub sepak bola saat ini masih netek alias mengharap subsidi dari pemerintah daerah. Dalam hal ini APBD. Jika sumber dananya dikorupsi, maka sangat mungkin klub-klub di daerah menjadi miskin.
Dana sebesar 201 miliar yang disalahgunakan oleh para pelaku pemerintahan seandainya didistribusikan untuk pembinaan klub-klub di seluruh Indonesia, maka akan sangat terasa sekali imbasnya.
Contoh mudah saja, kontestan di Liga Super sebanyak 20 klub. Jika 201 miliar dihibahkan kepada mereka maka setiap klub akan menerima 20 miliar. Jika ini terealisasi maka tidak akan ada klub-klub yang menunggak gaji pemain. Jika mimpi itu menjadi kenyataan, maka tidak akan ada lagi klub yang numpang menginap di masjid.