Rabu, 04 Juni 2008

“Habib” Rizieq, Berhentilah Merusak Citra Islam


By King Syahir


Saya pernah mengikuti ceramah KH. Musthofa Bisri atau yang biasa dipanggil Gus Mus. Pada satu kesempatan Gus Mus diundang berceramah di salah satu pesantren di Ciputat. Dan sebagaimana biasanya, Gus Mus berceramah dengan gayanya yang khas. Gus Mus bukan orator. Ia bukan seperti Bung Karno yang piawai mengobarkan semangat nasionalisme rakyat yang dipimpinnya.

Gus Mus adalah sosok penutur kata bijak yang mudah dicerna semua kalangan. Beliau mampu menghipnotis pendengarnya dengan kalimat-kalimat yang indah tapi tidak asing di telinga. Beliau adalah budayawan sekaligus kyai yang mengerti apa yang disampaikan dan kepada siapa menyampaikannya.

Meskipun tidak dengan suara lantang setiap pendengar ceramahnya seakan-akan disuntik dengan kata-kata yang tajam. Tidak sedikit audiens yang setia mendengarkan taushiyahnya dari pangkal hingga ujung. Dan setelah itu audiens segera meraba diri atau melihat sekeliling dan mencocokkannya dengan isi petuahnya itu.

Dalam kesempatan tatap muka, jarak jauh, dengan Gus Mus pada pengajian itu saya mendengarkan dengan jelas apa yang diucapkannya. Intinya, Gus Mus menyayangkan tindakan orang-orang yang memakai busana Rasulullah, memelihara jenggot sebagaimana Rasulullah dan menasihati orang lain dengan sunnah Rasulullah, tetapi tindakannya tidak mencerminkan tindakan Rasulullah.

Sungguh disayangkan. Mereka mengaku umat Rasulullah. Bahkan mereka juga marah ketika ada manusia di dunia ini yang menyatakan diri sebagai nabi atau rasul setelah baginda Rasulullah. Sungguh disayangkan, perilaku mereka. Katanya cinta Rasulullah tetapi tidak mencintainya melalui tindakan.

Malah sebaliknya, mereka merusak citra Rasulullah sebagai manusia panutan. Orang yang tidak tahu Islam mengira Nabi junjungan umat Islam telah mencontohkan pengikutnya untuk berbuat kekerasan. Dengan demikian, saya tidak menyalahkan para orientalis yang mengklaim Islam sebagai agama yang identik dengan kekerasan. Tidak salah jika ada pihak yang mengira Islam sebagai sarang para pembuat onar dan teroris. Sekali lagi, sungguh disayangkan.

Tulisan ini merupakan klimaks dari pengamatan saya terhadap “gerombolan” Front Pembela Islam (FPI). Saya lebih senang menyebut kelompok ini dengan “gerombolan” dari pada organisasi. Ini lebih karena tindakan anarkisme yang mereka terapakkan dalam setiap aksinya. Organisasi lebih identik dengan kelompok yang memiliki tujuan baik dan membangun bangsa. Sedangkan FPI sebaliknya. Silahkan pendapat saya ini diperdebatkan. Karena cuma sekedar istilah saja.

Klimaks? Ya. Selama ini saya cuek dengan anarkisme yang ditanamkan “Habib” Rizieq kepada anak buahnya yang tidak lain adalah para preman yang memakai busana Rasulullah dan mengklaim sebagai pengikut sunnahnya. Saya memberi tanda kutip pada nama “Habib”. Karena, pada dasarnya, seorang keturunan Nabi tidak mungkin menyuruh pengikutnya untuk bertindak berseberangan dengan Nabi. Artinya, “habib” bukanlah “Habib”.

Klimaks? Ya. Selama ini saya berharap FPI dapat memperbaiki citranya. Dari gerombolan pengacau ketertiban umum menjadi gerakan dakwah yang santun. Saya berharap FPI menjadi front yang benar-benar membela Islam. Bukan membunuh Islam itu sendiri. Saya berharap FPI sesuai dengan namanya, Front Pembela Islam bukan Front Pengacau/Perusak/Penghancur/Pembunuh Islam.

Aksi amuk yang dilakukan oleh orang-orang FPI terhadap para demonstran dari Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKK-BB) di Silang Monas, Minggu, (1/6/2008), adalah aksi yang tidak simpatik dan anarkis. Mereka rela melukai fisik dan perasaan bangsa sendiri. Tidak hanya itu, mereka juga melukai Allah, Rasul, Islam dan umat Islam di seluruh dunia.

Kepada “Habib” Rizieq, Anda adalah kepala gembong Front Perusak Islam. Hentikan preman-preman binaan Anda. Hentikan aksi-aksi jahat mereka. Karena keberadaan FPI membuat wajah Islam berubah menjadi seram, menakutkan dan mengerikan.

Khusus terhadap Anda, berhentilah memprovokasi pengikut Anda. Anda sudah kaya. Sudah banyak upeti yang Anda terima dari orang-orang yang membutuhkan jasa Anda. Lebih baik, gunakan upeti Anda untuk dakwah yang lebih santun (hasanah). Atau kalau perlu, sedekahkan upeti Anda untuk para kaum fakir miskin yang tidak menerima BLT (Bantuan Langsung Tunai). Dengan demikian Anda akan dapat dikenang dan dapat disejajarkan dengan Si Pitung.