Rabu, 10 September 2008

KENAPA KITA TIDAK MELAKUKAN KRITIK?



by King Syahir

Kritik itu perlu. Asal tujuannya mulia yakni untuk membuat keadaan menjadi lebih baik. Sebaliknya, kritik itu unsuggested jika tujuannya untuk menjatuhkan seseorang, tidak membangun dan lan sebagainya yang terkait dengan tujuan-tujuan negatif.


Dalam bahasa agama, kritik diverbalkan dengan ungkapan, “katakanlah kebenaran meskipun terasa berat (pahit)”. Secara psikologis mengkritik orang tentu memiliki bebasn tersendiri. Apalagi jika sasaran kritik itu adalah orang yang berstatus superior di dibanding kita. Misalnya, pimpinan atau orang yang telah berjasa kepadakita.


Begitu pun sebaliknya, kita mudah sekali mengkritik orang jikat sasaran kita adalah orang yang sejajar dengan kita, dan atau mereka yang berada di bawah kita secara status sosialnya. Misalnya, teman atau pegawai kita.


Dalam tulisan ini akan kita kupas judul di atas. Kenapa Kita TidakMelakukan Kritik? Tentu jawabannya ada pada diri kita masing-masing dan dalam situasi dan kondisi yang berbeda-beda pula.


Pertama, kenapa kita tidak mengkritik seseorang. Biasanya, kita tidak mengkritik seseorang karena yang kita hadapi adalah seorang bos atau penguasa (lebih tepatnya orang yang memiliki kekuasaan atas diri kita).


Biasanya memang berat melakukan ini. Sebab dengan mengungkap sisi kurang positif dari seorang bos akan berakibat buruk. Biasanya, kita dicap sebagai bawahan yang ‘berani pada atasan’, sok tahu, bawel, menggurui atau klimaksnya kita diberi Surat Peringatan (SP).


Kondisi itu jika berhadapan dengan bos. Bagaimana jika kita mengkritik orang yang lebih tua di atas kita dari segi umur. Misalnya, orang tua, mertua atau guru. Dalam situasi seperti ini kita bisa dicap sebagai orang yang tidak tawadlu dan lain sebagainya.


Kedua, kita tidak melakukan kritik karena takut dengan berbagai macam konsekuensi. Hal demikian ini selalu dimiliki banyak orang. Apakah kita sebagai karyawan atau lainnya.


Ketiga, biasanya kita tidak melakukan kritik terhadap orang yang berjasa kepada kita. Kebiasaan seperti ini sangat manusiawi. Akan tetapi kita harus berupaya untuk keluar dari kebiasaan itu. Karena jika kita tidak berani menyatakan hal-hal yang baik di hadapan orang yang berjasa kepada kita, lama kelamaan kita akan menjadi budaknya.


Contoh yang paling nyata adalah orang yang telah memberi kita jabatan. Bagaimana mungkin kita mengkritiknya? Jika kita mengkritiknya, bisa-bisa jabatan kita terancam. Dan silahkan Anda cari lagi contoh yang lain.


Keempat, biasanya kita tidak menkritik orang karena yang berhadapan dengan orang yang lebih tua dari kita. Saya ambil contoh, orang tua, guru atau orang lain yang lebih tua dari kita. Penyebabnya bisa berbeda-beda. Kepada orang tua biasanya kita takut. Kepada guru atau orang yang lebih tua biasanya kita segan.


Apakah kita pernah berada dalam empat macam keadaan tersebut? Jawabnya kembali pada kita masing-masing. Dan dari kita juga akan menjawab Ya atau Tidak. Bagi yang menjawab Ya, karena kita merasa belum menjadi diri sendiri serta memandang oranglain sebagai pihak yang super dari pada kita. Sedangkan kita yang menjawab Tidak mungkin kita adalah orang yang berprinsip ‘kita semua sama’. Ada seorang teman yang dengan tegas menyatakan ‘Saya hanya takut pada Allah’. Ada di manakah kita?


Kritik Otokritik


Tidak melakukan kritik terhadap prilaku dan sikap kirang baik tentu akan berakibat pada diri sendiri. Dan melakukannya pun akan menerim konsekuensinya. Artinya mengkritik atau tidak sama-sama menuai akibatnya.


Nah, bagi kita yang berani mengkritik orang lain harus berani menerima kritik. Kritik otokritik. Mengkritik orang juga harus siap dikritik. Dan ini menjadi bekal awal bagi siapa saja yang mengambil sikap berani.


Di lain sisi, kritik otokritik memacu seseorang untuk selalu melakukan introspeksi diri. Kita dituntut untuk selalu menjadi yang lebih baik. Jangan sampai istilah ‘semut diseberanglautan kelihatan, gajah di pelupuk mata tak kelihatan’ diarahkan kepada kita.