Jumat, 22 Agustus 2008

HARUSKAH PEMUDA YANG MEMIMPIN?

By King Syahir


Semakin dekatnya Pemilu 2009, banyak partai bermunculan. Sebanyak 34 partai telah resmi terdaftar sebagai kontestan demokrasi politik lima tahunan itu. Partai lama dan baru siap mengadu nasib dan memasang strategi untuk menggait hati rakyat.


Di tengah hiruk pikuk perhelatan demokrasi itu, mencuat wacana seputar kepemimpinan nasional. Tepatnya, kepemimpinan pemuda. Beberapa tokoh muda, yang merasa pantas, menggelindingkan wacana itu.


“Saatnya pemuda memimpin”. Begitu kira-kira jargon yang diusung mereka yang hendak berperan memimpin bangsa ini. “Tokoh tua diharapkan sadar diri dan tidak mencalonkan kembali sebagai persiden”. Demikian, kira-kira, harapan para kawula muda.


Para tokoh tua, termasuk SBY dan JK, digolongkan sebagai kelompok orang tua yang sudah tidak sepantasnya maju pada Pemilu 2009 nanti. Tidak hanya faktor umur yang menjadi alasan. Akan tetaapi lebih pada aspek kesuksesan dalam memimpin bangsa.


Bukti-bukti telah diajukan. Keterpurukan bangsa Indonesia menjadi salah satu buktinya. Perekonomian tidak pernah beranjak dari lubang keterpurukan. Konflik di berbagai pojok negeri ini terus saja tumbuh serta tidak adanya tanda-tanda penanganan yang serius. Ini adalah bukti bahwa pemimpin tua negeri ini tidak memiliki ketegasan dalam memecahkan masalah.


Angka kemiskinan pun mengisi daftar keterpurukan yang menghimpit bangsa. Ini terkait dengan upaya keras dalam menumbuhkan sektor perekonomian. Dan segudang data juga diajukan para pengusung wacana kepemimpinan pemuda untuk mem-black list kepemimpinan kaum tua.


Belum lagi di wilayah kebijakan publik pemerintah berkuasa saat ini. Kebijakan-kebijakan pemerintah diyakini oleh semua kalangan, termasuk kalangan muda, sebagai kebijakan yang tidak populis. Kebijakan yang tidak memihak wong cilik (grass root).


Pada sektor ini, pemerintah telah berbuat kesalahan yang bersifat elementer. Dalam kaidah ushul fikh, disebutkan bahwa kebijakan yang dibuat penguasa (pemerintah) harus berorientasi kepada kemaslahatan rakyat (tasharruf al-imam ‘ala al-‘abdi manuthun bi al-mashlahah).


Dalam artian, pemimpin negeri pada saat ini tidak mengindahkan kepentingan rakyat. Coba ditengok kebijakan pemerintah tentang kenaikan BBM, penanganan korban lumpur Lapindo.


Selain problem-problem tersebut, pemimpin tua juga dianggap tidak mampu memberikan qudwah atau contoh kepada kawula muda. Dalam hal ini, lihat saja, KKN terus merajalela.


Berkaca dari kenyataan yang ada, diusunglah gagasan kepemimpinan kawula muda. Sangat menarik jika ide ini digulirkan dan kemudian terealisasi. Kenapa menarik, karena pada dasarnya kepemimpinan kaum muda memiliki akar sejarah yang kuat.


Akan tetapi, sebenarnya bukan persoalan umur. Tetapi pengalaman dalam memimpin (lesdership experience). Dan alasan ini biasanya dilontarkan oleh kalangan pemimpin sepuh.

Benar juga alasan tersebut, karena semuanya kembali kepada komitmen kerakyatan yang dimiliki setiap pemimpin. Siapa saja, baik tua atau muda, mesti memiliki sense kerakyatan. Tanpa itu seorang tidak dapat disebut sebagai pemimpin. Jika ia memiliki nama besar, dia cukup disebut sebagai tokoh dan bukan pemimpin.


Jikapun seorang pemuda memimpin bangsa ini menjadi sebuah keharusan, maka selayaknya menengok sejarah kepemimpinan beberapa pemimpin klasik yang diterangkan dalam Al-Qur’an.


Dalam Al-Quran ada catatan yang dapat dijadikan ukuran. Coba perhatikan kisah Nabi Ibrahim. Di usianya yang relatif muda Nabi Ibrahim sudah menjadi ikon perlawanan terhadap kemungkaran.


Manuver Nabi Ibrahim telah dimulai semenjak ia masih muda. Ini bisa dilihat dalam Al- Quran surah al-Anbiya: 60. Fata yang tercatat dalam ayat tersebut menunjukkan Ibrahim masih muda atau kurang lebih umur16-18 tahun.


Jika ada seorang pemuda pada saat ini yang sudah mampu mengungkap kejahatan, menegakkan demokrasi serta mengkampanyekan kejujuran dan mendobrak perilaku amoral para penguasa seperti Ibrahim, kenapa tidak. Sah-sah saja.


Nabi Musa pun dapat dijadikan barometer kepemimpinan pemuda. Ia dikisahkan masuk ke kota Memphis. Di sana ia melihat terjadinya perkelahian antara seorang dari Bani Israel dan satunya dari pengikut Fir’aun.


Nabi Musa meninju seorang dari pihak Fir’aun hingga tewas. Imbas dari perbuatannya itu ia menjadi buronan Fir’aun. Untuk menyelamatkan diri ia lari mencari selamat. Dan singkat cerita Musa diterima oleh Nabi Syu’aib dan mengabdikan diri selama 8-10 tahun lamanya. Akhirnya ia dinikahkan dengan salah satu puterinya.


Nabi Musa menjadi pemimpin atas umatnya di saat usianya 25 tahun dengan segala macam pengalaman dan tantangan hidup yang dihadapi. Artinya, untuk menjadi pemimpin gerakan seorang pemimpin mesti matang dalam segala hal. Dan merujuk pada pengabdian Nabi Musa kepada Nabi Syu’aib, maka seorang pemimpin mesti menempa diri dengan pengalaman hidup sekurang-kurangnya 10. Catatan sejarah ini dapat dilihat dalam Al-Qur’an surah al-Qashash: 14.


Satu lagi ibrah datang dari Nabi Yusuf. Pertumbuhan Nabi Yusuf direkam jelas oleh Al- Qur’an. Dalam surah Yusuf: 19, Yusuf digambarkan sebagai seorang ghulam (anak kecil), kira-kira 10 tahun.


Pada ayat 22 ia tumbuh menjadi dewasa (balagha asyuddahu). Pada ayat ke 23 Yusuf digambarkan sebagai seorang yang telah menghadapi problem besar. Ia digoda oleh Zulaikha pada saat ia tumbuh sebagai seorang dewasa yang telah mencapai masa pubertas yang secara biologis juga sudah matang. Buktinya ada pada ayat ke 24. Zulaikha berhasrat terhadap Yusuf dan begitu juga sebaliknya.


Apa yang terjadi selanjutnya? Yusuf berhasil menahan diri dan menolak permintaan Zulaikha dan memilih dipenjara. Konon ia mendekam dipenjara selama 9 tahun. Di dalam penjara, ada kisah tersendiri, ia menempa diri dengan berbagai persoalan di dalamnya dan menjadi seorang pemuda yang matang.

Jika ada pemuda yang di dalam dirinya karakter seperti Yusuf, kenapa tidak untuk menjadi pemimpin dalam level tertentu. Yakni, seorang pemuda yang matang serta tidak ngiler terhadap setiap godaan, harta atau wanita.


Masih dari kisah Yusuf, sekeluarnya dari penjara (usianya 24), setelah memecahkan teka-teki mimpi sang raja, ia diminta menjadi menteri bidang ekonomi dan kesejahteraan rakyat (menkokesra). Yusuf lebih memilih menjadi bendahara negara (Mesir), ia mengaku piawai dan jujur dan kapabel di bidang ini. (Yusuf: 59).


Artinya, seorang pemangku jabatan mesti membekali diri dengan pengetahuan serta berani mengatakan yang benar sebagai kebenaran dan yang salah untuk dikatakan sebagai kesalahan. Jika ada pemuda semacam ini pada saat ini, kenapa tidak.


Bukan lagi persoalan tua muda pada saat ini. Bangsa Indonesia lebih memilih seorang pemimpin yang memiliki sensitifitas kerakyatan, apakah dia seorang sepuh atau pemuda yang bersemangat.