Jumat, 11 Juli 2008

Uhud, Bom Waktu dan Sikap Kita

by King Syahir

Sejarah mencatat sebuah peristiwa penting dalam perjalanan Islam dan pemeluknya. Peristiwa akbar itu adalah kekalahan umat Islam dalam perang uhud. Perang Uhud merupakan salah satu dari 74 perang yang pernah dilakukan umat Islam terhadap para musyrikin. Dari 74 kali perang itu, umat Islam tidak pernah mengerahkan tentara sebanyak kaum musyrik. Termasuk dalam perang Uhud ini.


Meski kalah dalam jumlah tentara umat Islam mampumenguasai medan perang. Kaum musyrikin dibuat kelabakan dan kocar-kacir strateginya. Namun, kondisi itu tidak berlangsung lama. Arus kekuatan berubah berbalik arah kepada kaum musyrik setelah umat Islam terjebak pada kenikmatan sesaat.


Ya, kaum muslimin ketika itu melihat harta benda yang melimpah ruah ditinggalkan musuh setelah didepak mundur oleh mujahidin. Harta yang ditinggalkan di lerenag bukit uhud itu tak disia-siakan kaum mujahidin. Mereka berhamburan turun bukit untuk mengamankan harta musuh.


Melihat situasi ini kaum musyrikin berbalik arah. Mereka naik kebukit dan mengepung kaum muslimin. Tak berdaya. Begitulah gambaran kaum muslim ketika itu. 23 orang tentara musuh tewas dan 70 orang mujahidin gugur dalam perang itu. Nabi sendiri, mukanya penuh dengan darah dan giginya patah. Inilah kekalahan yang paling disesali oleh Nabi Saw.


Kejayaan umat Islam pada pertempuran di medan perang sebelumnya seakan-akan punah seketika itu. Mereka berada dalam kondisi mental yang terpuruk. Namun, karena keimanan yang kukuh mereka segera bangkit dan mampu merenovasi kekautan secara internal dan membangun kembali kekuatan materi dan immateri.


Perang Uhud tidak akan terulang kembali. Namun, kekalahan semacam sangat mungkin terulang lagi, kapan saja, dan di mana saja serta disebabkan oleh sebab yang sama. Ketamakan terhadap harta benda telah membuat umat Islam lupa daratan dan akhirnya terperosok dalam kekalahan.


Mereka lupa, bahwa perang belum selesai. Lawan boleh saja mundur, tetapi mereka belum hancur. Lawan boleh terluka, namun semangat untuk terus bertempur belum padam. Lawan boleh lengah karena serangan anak panah. Tetapi mereka tidak pongah karena kehilangan dunia.


Jika ditarik dalam kondisi sekarang ini, banyak sekali aspek yangmesti dijadikan pelajaran. Misalnya, kita adalah insan pekerja. Dalam setiap saat kita menjadi manusia yang memiliki kewajiban atau tugas melaksanakan roda kehidupan. Apakah itu roda keluarga, perusahaan, organisasi atau, bahkan yang lebih besar lagi, roda pemerintahan.


Kita layak untuk menikmati kesuksesan. Kita juga diperbolehkan menguasai hak kepemilikan. Begitu pula kita sangat dianjurkan untuk mendistribusikan hasil dari kerja keras kita.


Tapi, apakah semua yang kita lakukan sebagai buah dari eksplorasi usaha yang didasari oleh identitas kita sebagai hamba Allah. Jika itu menjadi dasar dari setiap usaha kita, pasti semuanya akan membawa berkah di kemudian hari.


Berkah dapat dirasakan ketika diri kita merasakan sebuah ketenangan batin yang teramat. Memuaskan hati dan pikiran. Adapun jika, eksplorasi itu berdasarkan kesombongan belakan maka pada saat tertentu maka bom waktu akan meledak pada saat yang telah ditentukan meletusnya oleh Sang Penentu kehidupan.


Pelaku lembaga pemerintahan, perusahaan atau keluarga akan menjadi korban dari ledakan bom waktu itu. Pelaku dan orang-orang sekelilingnya akan menjadi korban. Orang-orang sekelilingnya akan bertepuk tangan karena kita adalah pesaing mereka.


Orang di luar kita adalah pemain yang sama, pelaku yang sama. Mereka akan mengambil keuntungan dari keterpurukan kita yang selama ini angkuh, tak acuh, memperlakukan anggota keluarga lain, memperlakukan anggota lain layaknya seorang budak tawanan.


Itu perilaku yang merugikan orang lain. Ada juga perilaku yang dapat mengantarkan kita pada sebuah kekalahan yang hanya merigikan diri sendiri. Misalnya, merubah pola hidup dari yang sederhana ke arah yang lebih elitis dan hedonistis. Sebuah sikap yang kurang populis dan humanistis.


Bukan berarti humanistik dan populis merupakan lawan dari kesederhanaan dan elitis. Akan tetapi keduana telah menjauhkan dari sikap yang dicintai orang kebanyakan. Terutama orang-orang yang ‘merasa’ berada di bawah kita.


Mari kita semua berkaca. Pada siapa saja dan apa saja. Pada dasarnya kita melangkah ke arah yang lebih baik dengan dibarengi dengan perilaku yang tidak menindas oranglain. Bukan melangkah menuju arah kegelapan dengan membawa benih kemunduran.