Selasa, 24 Februari 2009

FENOMENA PONARI DAN MORALITAS ULAMA KITA

“Ulama masa kini cenderung lebih senang membuat fatwa dari pada membina umat secara langung”.


Bebera minggu terakhir ini media massa, baik elektronik maupun cetak, tidak henti-hentinya mengangkat kabar seputar dukun cilik, Ponari. Sosok dukun yang masih polos ini sedang naik daun yang mana popularitasnya hampir menyamai popularitas wapres Jusuf Kalla yang akhir-akhir ini sempat meredup.


Ihwal ketenaran Ponari, seperti yang banyak diketahui publik, berawal dari datangnya musibah terhadapnya. Ponari, bocah yang masih duduk di bangku sekolah dasar dan usianya belum genap dasawarsa ini pada satu saat ketiban batu yang mengenai kepalanya.


Batu yang menimpa kepala bocah ajaib ini diawali dengan samberan petir yang mengenai dirinya. Dan tidak disangka-sangka, petir tersebut, selain menyambar juga melemparkan kepadanya sebuah batu. Dan batu inilah yang kemudian membawa Ponari pada status baru yakni dukun cilik.


Batu bawaan petir itu diketahui membawa tuah tersendiri. Beberapa tetangga yang sakit menjadi sembuh. Dari mulut ke mulut, telinga ke telinga lain. Kabar Ponari sebagai pemilik batu ampuh pun tersiar ke manca dusun. Bahkan, hingga ke luar kabupaten Jombang.


Pasien yang berdatangan pun tidak hanya puluhan melainkan ribuan. Niatnya adalah ingin mencari kesembuhan melalui wasilah batu ajaib milik Mbah Ponari. Karena saking antusiasnya masyarakat yang pikirannya telah diselimuti sugesti maka berdesak-desakan pun tidak menjadi soal. Dan tidak sedikit mereka, para pasien, antri berkilo-kilo meter yang memakan waktu berhari-hari.


Puncaknya, pada satu hari, para pasien yang antusias tidak terbendung lagi. Mereka sama-sama ingin mendapatkan air yang telah dicelupi batu ajaib itu. Peristiwa tragispun terjadi. Peristiwa ini memakan korban jiwa. Kasus ini sama dengan peristiwa pembagian zakat di Pasuruan beberapa bulan lalu.


Bedanya, jika di Pasuruan orang berdesak-desakan untuk mendapatkan uang zakat, sedangkan pada kasus Ponari, orang berbondong-bondong dan berdesak-desakan untuk mencari kesembuhan.


Fenomena ini serta merta mengundang banyak tanggapan dan respon banyak kalangan. Melihat fenomena ini paling tidak ada beberapa sisi pandang. Pertama, sudut komersial. Peristiwa ini jelas-jelas memiliki sisi materiil. Betapa tidak, meskipun bukan seorang dokter Ponari jelas-jelas memiliki jasa penyembuhan. Dan meskipun tidak ditetapkan tarif tertentu para pasien dengan suka rela memberikan imbalan kepada (keluarga) Ponari.


Dari sisi ini, ponari dan orang tuanya serta para saudara-saudaranya akan mendapatkan cipratan (bagian keuntungan) materi. Meski tidak dikomersilkan, diakui atau tidak, praktik semcam ini mampu mendatangkan jutaan rupiah perharinya. Sebuah dampak positif tersendiri bagi keluarga Ponari.


Kedua, sisi psikologis. Dari sudut pandang ini kasus ponari memiliki dampak tersendiri. Ponari adalah seorang bocah yang umurnya belum genap sepuluh tahun (9 tahun). Ponari lahir pada 6 Juli 1999. Itu artinya Ponari masih memiliki hak sebagai anak. Yakni hak untuk tumbuh dan berkembang secara wajar.


Bagi para aktifis perlindungan anak, Ponari hendaknya diberi keleluasaan untuk menunaikan kewajibannya bersekolah. Dengan membiarkan Ponari mengobati pasien dan tanpa menghiraukan sisi-sisi haknya sebagai anak maka hal ini dapat menghancurkan mentalitas dan perkembangan Ponari dan bahkan dapat mempengaruhi kejiwaannya. Untuk itu, jalan tengahnya adalah, Ponari tetap diperkenankan mengobati pasien dan kegiatasn belajarnya juga tetap berjalan.


Ketiga, sudut mistik. Diakui atau tidak, peristiwa ini melibatkan sisi mistik. Pada wilayah ini mengundang berbagai komentar yang beragam. Contohnya, Mama Laurent, seorang paranormal perempuan ternama di negeri ini, menyatakan kekuatan Ponari tidak akan langgeng. Kekuatan mistik ini hanya bersifat temporal alias tidak akan melekat pada diri Ponari selamanya.


Terlepas dari langgeng atau temporalnya kekuatan magis Ponari, setidaknya Ponari telah masuk ke dalam ranah persaingan bisnis antar dukun atau orang-orang pintar. Indikator dari kemungkinan ini adalah ketika di rumah Ponari kedatangan sinar yang menyala-nyala terang. Ini diyakini sebagai upaya mengukur kekuatan Ponari yang datang dari para pesaingnya, yakni para orang pintar yang merasa tersaingi. Hal ini wajar karena Ponari dianggap telah mematikan market para dukun lain.


Keempat, rasionalitas. Sudut pandang ini tentu juga memiliki ruang tersendiri dalam kasus ini dan tidak kalah uniknya. Pasien Ponari semakin hari semakin bertambah. Dan kesempatan untuk mendapatkan celupan tangan Ponari plus batu ajaib tersebut sangat terbatas. Ponari juga manusia yang butuh istirahat. Apalagi dia anak kecil.


Karena saking percayanya terhadap daya magis yang dimiliki Ponari serta didorong oleh sugesti yang tinggi apapun akan diyakini dan kemudian dilakukan. Langkah inilah yang mampu menerobos akal sehat para pasien. Maka terlihatlah para pasien yang rela mengambil air bekas mandi Ponari meskipun itu terdapat di dalam got. Sejauh inilah tindakan masyarakat di negeri ini.


Apa yang harus disikapi atas fenomena unik ini? Jika kita diperkenankan menjawab, maka jawabnya akan beragam. Namun, pertanyaan tersebut tidak harus dijawab. Artinya tidak perlu menyikapi macam-macam atas fenomena Ponari.


Pasalnya, peristiwa ini merupakan fenomena sosial masyarakat Indonesia yang muncul dari berbagai sebab. Boleh saja, sebabnya adalah karena biaya pengobatan hingga saat ini masih mahal dan tidak dapat dijangkau oleh masyarakat.


Rumah sakit-rumah sakit masih terjebak pada persoalan-persoalan administratif yang ribet sehingga melangkahi asas kemanusiaan. Betapa tidak, seorang yanga hampir sekarat karena demam berdarah tidak boleh masuk rumah sakit karena tidak mampu membayar uang muka. Dengan berita seputar Ponari ini, membuat mereka gembira karena biayanya murah bahkan gratis.


Sebab lain, misalnya, minimnya bimbingan rohani yang diperoleh masyarakat ini dari para ulama atau kyai. Jika saja para ulama dan kyai telaten memberikan advokasi terhadap umatnya, maka tidak akan terjadi pasien yang sudi meminum air comberan bekas mandi Ponari.


Tulisan ini memang sengaja diberi judul seperti di atas karena sebab terakhir tersebut. Dan juga judul tersebut dibuat sebagai reaksi atas komentar salah satu anggota komisi fatwa MUI yang menyarankan pemberhentian praktik Ponari. Dengan mengungkapkan beberapa alasan, ulama tersebut, menyatakan bahwa praktik Ponari mendekatkan pada kesesatan dan bahkan kesyirikan.


Kemudian muncul pertanyaan dari pernyataan tersebut. Dengan cara apa untuk memberhentikan praktik dukun Ponari? Apakah ujung-ujungnya MUI akan membuat fatwa? Seharusnya para ulama menyadari bahwa fenomena tersebut memiliki keterkaitan dengan mereka secara tidak langsung.


Bagaimana demikian? Ulama sekarang ini lebih mengutamakan urusan-urusan yang formalistik ketimbang yang bersifat non formal (kultural). Seperti misalnya, menguatkan pendidikan agama di akar rumput. Mendatangi kaum awam hingga mengetahui akar persoalan yang melilitnya. Dalam hal ini para ulama kalah langkah dengan para politisi.


Fenomena mistik yang menyelimuti peristiwa Ponari dan tipisnya rasionalitas umat salah satunya disebabkan oleh minimnya proses ta’lim yang dilakukan ulama masa kini. Para ulama baik yang tergabung dalam sebuah organisasi formal maupun yang di luar itu dianggap telah melompati garis utama dalam dakwah yakni memahamkan makna amar makruf nahi mungkar kepada kaum awam.


Kenapa ini tidak dilakukan, jawabnya, karena ini susah dan njelimet (jawa: merepotkan) untuk dilakukan. Oleh karena itu para ulama masa kini cenderung lebih senang membuat fatwa dari pada membina umat secara langung.


Beginilah situasinya jika para ulama masa kini lebih cenderung bertindak pragmatis dari pada bertindak strategis. Oleh karenanya, maklumlah, jika akhir-akhir ini terdapat fatwa-fatwa baik yang tertulis mapun yang tidak tertulis keluar dari para ulama.


Masih ingatkah, fatwa tentang haram merokok? Masih ingatkah fatwa tentang golput haram? Keduanya masih hangat. Masih hangat lagi adalah komentar salah satu anggota komisi Fatwa MUI yang menyesatkan film Perempuan Berkalung Sorban yang disutradarai Hanung Bramantyo.