Rabu, 12 Maret 2008

Islam di Rusia

Kaya Dengan Naskah Islam Kuno

by King Syahir

Koleksi paling unik di perpustakaan ini adalah mushaf Al Qura’an mini seukuran korek api. Konon Al Quran kecil ini adalah karya seorang seniman asal Siraz, Persia yang dipersembahkan untuk Shah Iran Abbas Agung (1587-1628).

Baca selengkapnya di Tabloid Khalifah Edisi 83. Beredar mulai 10 Maret 2008

Selasa, 11 Maret 2008

Memangkas Pencitraan Negatif Terhadap Islam


by King Syahir

“Tujuan saya adalah memaparkan dunia Islam dari dalam dengan harapan anda akan lebih menghormati umat Muslim, ajaran Islam, dan cara pandang Muslim atas apa yang terjadi di dunia saat ini” (Bab 1, hal: 3)

Judul Buku: Memahami Islam

Judul: The Complete Idiot’s Guide to Understanding Islam

Penulis: Yahiya Emerick

Penterjemah: Tim Penterjemah Pusat Bahasa dan Budaya Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta

Penerbit: PT. Ina Publikatama Jakarta 2007

Jumlah Halaman: 422

Senin, 10 Maret 2008

Cermin


by Gus Mus

Kalau kita ingin melihat wajah kita sendiri, biasanya kita bersendiri dengan kaca ajaib yang lazim kita sebut cermin. Dari cermin itu kita bisa melihat dengan jelas apa saja yang ada di wajah kita; baik yang menyenangkan atau yang tidak, bahkan mungkin yang membuat kita malu.
Dengan cermin, kita mematut-matut diri. Barangkali karena itulah hampir tidak ada rumah yang tidak menyimpan cermin. Karena hampir semua orang ingin dirinya patut. Tanpa bercermin kita tidak bisa melihat sendiri noda yang ada pada diri kita. Dan tanpa melihat sendiri noda itu, bagaimana kita tergerak menghilangkannya.

Di dalam Islam, ada dawuh,” Almu’minu miraatul mu’min”,” Orang mukmin adalah cermin mukmin yang lain”; “Inna ahadakum miraatu klhiihi”,” Sesungguhnya salah seorang di antara kamu adalah cermin saudaranya. Artinya masing-masing orang mukmin bisa –atau seharusnya-- menjadi cermin mukmin yang lain. Seorang mukmin dapat menunjukkan noda saudaranya, agar saudaranya itu bisa menghilangkannya.

Dalam pengertian yang lain, untuk mengetahui noda dan aib kita, kita bisa bercermin pada saudara kita. Umumnya kita hanya –dan biasanya lebih suka—melihat noda dan aib orang lain. Sering kali justru karena kesibukan kita melihat aib-aib orang lain, kita tidak sempat melihat aib-aib kita sendiri.

Di bulan suci, dimana kita bisa tenang bertafakkur memikirkan diri sendiri --dan inilah sesungguhnya yang penting—, kadang-kadang kita masih juga kesulitan untuk melihat kekurangan-kekurangan kita. Satu dan lain hal, karena kita enggan memikirkan kekurangan-kekurangan diri sendiri. Maka bercermin pada orang lain kiranya sangat perlu kita lakukan.
Seperti kita ketahui, melihat orang lain adalah lebih mudah dan jelas katimbang melihat diri sendiri.

Marilah kita lihat orang lain, kita lihat aib-aib dan kekurangan-kekurangannya; lalu kita rasakan respon diri kita sendiri terhadap aib-aib dan kekurangan-kekurangan orang lain itu. Misalnya, kita melihat kawan kita yang sikapnya kasar dan tak berperasaan; atau kawan kita yang suka membanggakan dirinya dan merendahkan orang lain; atau kawan kita yang suka menang-menangan, ingin menang sendiri; atau kawan kita yang bersikap atau berperangai buruk lainnya. Kira-kira bagaimana tanggapan dalam diri kita terhadap sikap kawan-kawan kita yang seperti itu?

Lengkapnya, Baca di Tabloid Khalifah Edisi 82

Minggu, 09 Maret 2008

Ulama, Kiai, Mubalig, Artis...

by Gus Mus

Penghormatan yang terlalu dini kepada gus inilah yang mungkin sering justru mencelakakan yang bersangkutan. Apalagi bila ternyata kemudian -setelah sampai saatnya menggantikan orang tuanya- kapasitas ilmu maupun keteladanan; budi pekertinya tidak mampu mengatrolnya, minimal mendekati kapasitas orang tuanya.

Konon istilah mula-mula muncul sebagai kesepakatan sesuatu kelompok atau kalangan tertentu. Istilah-istilah hadis, misalnya, muncul dari kesepakatan kalangan muhadditsin; istilah-istilah kesenian dari kalangan seniman; dan. seterusnya. Namun kemudian istilah-istilah yang beredar di masyarakat itu sering mengalami kerancuan pengertian.

Antara lain, karena orang seenaknya saja menggunakan istilah itu, dan tidak mau —atau tak sempat— merujuk ke sumber asalnya. Kerancuan itu ternyata membawa dampak dalam kehidupan bermasyarakat. Inilah yang terjadi dengan istilah “ulama”, “kiai” dan “mubalig”. Celakanya, yang bersangkutan -yang dengan tidak tepat disebut ulama, kiai, atau mubalig— biasanya malah mcrasa bangga dan tidak membantah. Kalaupun membantah, biasanya dengan gaya basa-basi, sehingga semakin mendukung penyebutan itu, atau setidaknya makin mengaburkan maknanya. Sebab, meskipun sebutan ulama, kiai, atau mubalig itu mengundang kehormatan dan tanggung jawab, yang segera tampak menggiurkan justru kehormatannya. Baru setelah yang bersangkutan terbukti melakukan hal yang tak sesuai dengan maqam, atau kedudukan terhormat itu, orang menjadi bingung sendiri.

Yang lebih merepotkan, istilah "ulama" yang beredar dalam masyarakat kita -seperti berbagai istilah lain- mempunyai "kelamin ganda" dan berasal tidak hanya dari satu sumber. Dalam bahasa Indonesia, ulama berarti "orang yang ahli dalam hal atau dalam pengetahuan agama Islam" (lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia, hlm. 985). Sedangkan di Arab sendiri, 'ulama (bentuk jamak dari ‘alim) hanya mempunyai arti "orang yang berilmu".

Baca Selengkapnya di Tablid Khalifah Edisi 83, Terbit 12 Maret 2008